Kamis, 29 Juni 2017

Selamat Hari Keluarga Berencana dan Hari Keluarga Nasional!



Walaupun Indonesia sudah merdeka namun pada tahun 1949 situasi bangsa kita belum begitu kondusif. Kondisi ini menuntut diberlakukannya wajib militer bagi rakyat Indonesia dan menuntut mereka untuk berpisah dengan keluarga, termasuk diantaranya Letkol Soeharto (alm. mantan presiden RI) yang ada pada saat itu sebagai Komandan Gerilya di Yogyakarta. Melalui perjuangan yang gigih, akhirnya pada tanggal 22 Juni, Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Seminggu setelah itu, tepatnya 29 Juni tentara pejuang termasuk Soeharto dapat berkumpul kembali pada keluarganya. Letkol Soeharto memberikan laporan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahwa seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, telah kembali kepada keluarganya masing-masing. Laporan Soeharto inilah yang kemudian dijadikan tanda resmi masyarakat Indonesia telah berkumpul kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Momentum inilah yang kita baca dalam sejarah yang melandasi lahirnya Hari Keluarga.

Dari sejarah tercatat pula bahwa pada tanggal 29 Juni 1970 merupakan puncak kristalisasi semangat pejuang Keluarga Berencana (KB) untuk memperkuat dan memperluas program KB sehingga tanggal tersebut dikenal pula dengan tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Jadi jelas lahirnya Hari Keluarga di Indonesia ditandai dengan dimulainya Hari Kebangkitan; bangkitnya kesadaran keluarga untuk membangun dirinya ke arah keluarga kecil melalui Keluarga Berencana (KB)


SEPAK TERJANG KELUARGA BERENCANA DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA DI

DKI JAKARTA



Periode Perintisan dan Pelopor Keluarga Berencana dan Kependudukan Sebelum 1957



·         Pembatasan kelahiran secara tradisional

Di Indonesia, usaha membatasi kelahiran (Birth Control) sebenarnya secara individual telah banyak dilakukan. Diantaranya yang paling banyak
diketahui adalah cara-cara yang banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa (karena penelitian mengenai hal ini banyak dilakukan di Jawa).
Tetapi bukan berarti daerah-daerah di luar Jawa tidak melakukannya, misalnya seperti di Irian Jakarta, Kalimantan Tengah, dan sebagainya.

Jamu-jamu untuk mencegah kehamilan juga telah banyak dikenal oleh orang. Salah satu diantaranya yang banyak dipakai dipedesaan di Jawa adalah
air kapur yang dicampur jeruk nipis. Khususnya di daerah Temanggung dikenal ramuan yang terdiri dari laos pantas yang dicampur gula aren dan garam,
jambu sengko dan sebagainya.

Namuan dikenal juga cara seperti urut dan juga berbagai ramuan seperti ragi, tapai, pil kina atau minuman keras yang dikenal yang dimaksudkan untuk
menggugurkan kandungan.

Angka kematian bayi di Indonesia tergolong tinggi. Begitu pula dengan kematian ibu saat melahirkan, hal tidak akan terjadi seandainya
calon orang tua bayi sudah mulai merencanakan keluarganya dan mengatur kelahiran. Inilah yang telah menyebabkan sejumlah tokoh-
tokoh sosial dan kalangan masyarakat menjadi lebih bertekad untuk berusaha mengatasi keadaan yang menyedihkan itu, terutama para
ibu rumah tangga, yang menganggap pembatasan kehamilan itu sangat penting demi kesehatan mereka.

·         Perkembangan di Jakarta

Di Jakarta, kegiatan itu dimulai di bagian Kebidanan RSUP yang dipimpin oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo. Sejak tahun 1953 di poliklinik kebidanan
yang dipimpin oleh dr. M.Judono dan dibantu oleh dr. Koen S. Martiono, telah dilaksanakan program yang disebut Post Natal Care, yaitu pemeriksaan
pasien 6 minggu setelah melahirkan.

Perhatian Prof. Sarwono Prawirohadjo dalam masalah pengaturan kelahiran (Birth Control) begitu besar, hingga mengirim dr. Juwono ke
luar negeri untuk memperdalam pengetahuannya tentang pembatasan kelahiran.

Dr. Suharto yang ketika itu mempunyai klinik bersalin juga telah mulai memberikan penyuluhan dan pelayanan kepada pasiennya dalam menjarangkan
kehamilan. Beliau telah beberapa kali menerbitkan brosur tentang kesehatan yang diberikan dengan gratis kepada pasiennya. Selain itu juga
diterbitkan sebuah brosur tentang pengaturan kehamilan. Tentu saja brosur ini hanya terbatas distribusinya yaitu di kalangan pasien Dr. Suharto sendiri.

Pada tahun 1956 di BKIA jalan Tarakan, Jakarta, kegiatan pemeriksaan setelah melahirkan dilakukan oleh dr. Koes S. Martinon. Beberapa rumah bersalin
mulai mengirimkan pasiennya ke BKIA untuk mendapatkan pemeriksaan. Mereka yang dikirm ke sana biasanya sudah tergolong dalam kelompok
berisiko besar untuk melahirkan. Ketika itu sedikit sekali yang datang atas kemauan sendiri untuk mendapatkan pelayanan dalam pembatasan kehamilan.

Dr. Hurustiati Subandrio (seorang dokter dan antropolog), selama ada di London dari tahun 1948 hingga 1953 juga sudah menaruh perhatian kepada
program Keluarga Berencana. Ini telah mendorong untuk mengadakan hubungan dengan IPPF (International Planned Paranthood Federation) darimana
ia mendapatkan keterangan yang lebih jelas lagi tentang keluarga berencana, tidak hanya dari segi medis saja tetapi justru dari segi sosial.

dr. Hanifa Wiknjosastro yang pada tahun 1953 mengikuti kuliah post graduate dalam kebidanan di London, setelah membaca buku “Birth Control Today”
karangan Marie Stopes, menjadi sangat tertarik oleh program Keluarga Berencana.

Di London, alat kontrasepsi merupakan barang biasa yang dijual di toko-toko dengan bebas. Di Indonesia, hal semacam itu tidak dapat dilaksanakan.
Membicarakan keluarga berencana secara terang-terangan saja tidak mungkin karena masyarakat masih belum dapat menerimanya. Apalagi
dengan adanya pasal 534 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah hamil, atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan
tidak diminta bahwa ikhtiar atau pertolongan itu bisa didapat, dapat dihukum dengan kurungan selama-lamanya 2 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya dua ratus rupiah”.

Itulah sebabnya mengapa dr. Hanifa sepulangnya dari London belum dapat menyebarluaskan pengertian pembatasan kelahiran itu. Pada permulaan
ia hanya dapat membicarakannya dengan rekan-rekannya saja, terutama ahli-ahli kebidanan dan penyakit kandungan, karena bagaimana pun juga
dokter-dokter inilah yang nantinya akan memberikan pelayanan dan memegang peranan penting dalam usaha penyebar-luasan gagasan pengaturan
kehamilan tersebut. Kepada dokter-dokter itulah dr. Hanifa mulai memberikan ceramah-ceramah dan mendiskusikan masalah pengaturan kehamilan.
Dokter Hanifa juga memberikan pelayanan pembatasan kelahiran di poliklinik Kebidanan RSUP, walaupun secara diam-diam. Cara yang digunakan
oleh dr. Hanifa ialah cara yang ketika itu popular, yaitu dengan menggunakan Menzinga Passarium atau Dutch Cap.

Pada waktu itu Dr. Hurustiati beberapa bulan bekerja di poliklinik RSUP yang disusun oleh dr. Hanifa. Perlu dicatat bahwa pada tahun 1956
Dr. Hurustiati bersama dengan beberapa tokoh wanila lain, mendirikan sebuah klinik keluarga berencana di Gedung Wanita, Jakarta. Kegiatan klinik itu,
seperti juga klinik-klinik lainnya pada masa itu yang memberikan pelayanan keluarga berencana, adalah sangat terbatas dan berjalan dengan diam-diam.

·         Periode Persiapan dan Pelaksanaan

1.  LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional)

Setelah berdirinya PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada tahun 1957, telah melaksanakan usahanya dengan berbagai kendala,
baik dalam menyebar luaskan gagasannya kepada masyarakat maupun dalam menghadapi reaksi Pemerintah, maka pada Kongres Nasional I
PKBI mengeluarkan pernyataan yang disampaikan kepada Pemerintah. Isi pernyataan ituadalah sebagai berikut :

-  PKBI menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah yang telah mengambil kebijaksanaan mengenai Keluarga
Berencana yang akan dijadikan program pemerintah.

-  PKBI mengharapkan agar keluarga berencana sebagai program Pemerintah segera dilaksanakan.

-  PKBI sanggup untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan program keluarga berencana sampai di pelosok supaya faedahnya dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pernyataan ini disampaikan tepat pada waktunya, di mana suasana sudah lebih menguntungkan yaitu dengan adanya penandatanganan Declaration of
Human Right oleh beberapa Kepala Negara termasuk Indonesia (Presiden Soeharto). Deklarasi tersebut antara lain telah menerima resolusi yang
pada pokoknya mendukung gagasan bahwa, adalah hak asasi manusia untuk menentukan jumlah anak yang dikehendaki, dan sebagai kelanjutannya
maka Presiden Soeharto menyatakan bahwa Pemerintah menyetujui program nasional keluarga berencana yang diselenggarakan oleh masyarakat
dengan bantuan dan bimbingan Pemerintah.

Sehubungan dengan itu pada tanggal 7 September 1968, keluarlah Instruksi Presiden No.26 Tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat
(Menkesra) yang isinya antara lain :

1.  Untuk membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspek yang ada di masyarakat di bidang keluarga berencana;

2.  Mengusahakan negara terbentuknya suatu Badan yang dapat menghimpun segala kegiatan keluarga berencana serta terdiri atas unsur-unsur
Pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan instruksi Presiden tersebut keluarlah Surat Keputusan Menkesra No.36/Kpts/Kesra/X/1968 tentang pembentukan team yang akan
mengadakan persiapan pembentukan sebuah lembaga keluarga berencana. Dan pada tanggal 17 Oktober 1968 dikeluarkanlah Surat Keputusan
Men kesra tentang pembentukan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan tugas pokok :

-  Menjalankan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi usaha-usaha keluarga berencana.

-  Memberikan saran-saran yang diperlukan kepada pemerintah mengenai keluarga berencana sebagai program nasional.

-  Mengadakan /membina kerjasama antaraIndonesia dan luar negeri dalam bidang KB, selaras dengan kepentingan nasional.

·         Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta

Sebagai salah satu usaha yang juga mempercecpat keluarga berencana dijadikan program nasional adalah proyek keluarga berencana DKI Jakarta.

Pada waktu itu setelah simposium kontrasepsi di Bandung pada tahun 1967 Gubernur Ali Sadikin menganggap sudah tiba waktunya untuk segera
mulai kegiatan keluarga berencana secara resmi di DKI Jakarta. Maka pada tanggal 21 April 1967 tepat pada peringatan Hari Kartini di Balai Kota
dilantiklah orang-orang yang akan menyelenggarakan Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta yang dipimpin oleh dr. Herman Susilo dan dr. Koen
Martiono sebagai pelaksana proyek.

Pada akhir tahun 1967 diperoleh bantuan dari Ford Foundation melalui PKBI. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalahkegiatan penerangan dan
motivasi yang dimulai di bawah pimpinan Prof. M. Djoewari (alm). Kemudian pada tahun 1968 dilanjutkan dengan penerangan dan motivasi yang
dilakukan oleh PLKB yang mulai melaksanakan tugasnya di wilayah DKI. Dan juga diadakan penelitian selama tahun 1968 dan 1969 mengenai
karakteristik akseptor, kelangsungan menjadi akseptor pil dan pemakaian IUD dengan bantuan biaya dari PKBI.

Setelah berdirinya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) barulah Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta mendapat subsidi Pemerintah.
Pada tahun 1980 Pemerintah menganggap keluarga berencana perlu dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah sebagai bagianintegral pembangunan
nasional. Maka lahirlah Keppres No.8 tahun 1970 yang menetapkan bahwa BKKBN merupakan lembaga pemerintah dengan penanggung jawab umum
di tangan Presiden.



Disunting dari: Badan koordinasi keluarga berencana nasional; sejarah perkembangan keluarga
berencana dan program kependudukan; Jakarta; 1981;-

RENCANA PEMBELAJARAN BULANAN COMMUNITY DEVELOPMENT FT UNJ PERIODE 2019-2020 (BULAN JUNI 2019) kelas 1 SD - 6 SD ~~~~~~~~~~~~~~~~~~...