Walaupun Indonesia sudah merdeka namun pada tahun 1949 situasi bangsa kita belum begitu kondusif. Kondisi ini menuntut diberlakukannya wajib militer bagi rakyat Indonesia dan menuntut mereka untuk berpisah dengan keluarga, termasuk diantaranya Letkol Soeharto (alm. mantan presiden RI) yang ada pada saat itu sebagai Komandan Gerilya di Yogyakarta. Melalui perjuangan yang gigih, akhirnya pada tanggal 22 Juni, Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Seminggu setelah itu, tepatnya 29 Juni tentara pejuang termasuk Soeharto dapat berkumpul kembali pada keluarganya. Letkol Soeharto memberikan laporan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahwa seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, telah kembali kepada keluarganya masing-masing. Laporan Soeharto inilah yang kemudian dijadikan tanda resmi masyarakat Indonesia telah berkumpul kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Momentum inilah yang kita baca dalam sejarah yang melandasi lahirnya Hari Keluarga.
Dari sejarah tercatat pula bahwa pada tanggal 29 Juni 1970 merupakan puncak kristalisasi semangat pejuang Keluarga Berencana (KB) untuk memperkuat dan memperluas program KB sehingga tanggal tersebut dikenal pula dengan tanggal dimulainya Gerakan KB Nasional. Jadi jelas lahirnya Hari Keluarga di Indonesia ditandai dengan dimulainya Hari Kebangkitan; bangkitnya kesadaran keluarga untuk membangun dirinya ke arah keluarga kecil melalui Keluarga Berencana (KB)
SEPAK TERJANG KELUARGA BERENCANA DI
INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA DI
DKI JAKARTA
Periode Perintisan
dan Pelopor Keluarga Berencana dan Kependudukan Sebelum 1957
·
Pembatasan kelahiran secara tradisional
Di Indonesia, usaha membatasi kelahiran (Birth Control) sebenarnya secara individual
telah banyak dilakukan. Diantaranya yang paling banyak
diketahui adalah
cara-cara yang banyak digunakan di kalangan masyarakat Jawa (karena penelitian
mengenai hal ini banyak dilakukan di Jawa).
Tetapi bukan berarti daerah-daerah
di luar Jawa tidak melakukannya, misalnya seperti di Irian Jakarta, Kalimantan
Tengah, dan sebagainya.
Jamu-jamu untuk mencegah kehamilan juga telah banyak dikenal
oleh orang. Salah satu diantaranya yang banyak dipakai dipedesaan di Jawa
adalah
air kapur yang dicampur jeruk nipis. Khususnya di daerah Temanggung
dikenal ramuan yang terdiri dari laos pantas yang dicampur gula aren dan garam,
jambu sengko dan sebagainya.
Namuan dikenal juga cara seperti urut dan juga berbagai
ramuan seperti ragi, tapai, pil kina atau minuman keras yang dikenal yang
dimaksudkan untuk
menggugurkan kandungan.
Angka kematian bayi di Indonesia
tergolong tinggi. Begitu pula dengan kematian ibu saat melahirkan, hal tidak
akan terjadi seandainya
calon orang tua bayi sudah mulai merencanakan
keluarganya dan mengatur kelahiran. Inilah yang telah menyebabkan sejumlah
tokoh-
tokoh sosial dan kalangan masyarakat menjadi lebih bertekad untuk
berusaha mengatasi keadaan yang menyedihkan itu, terutama para
ibu rumah
tangga, yang menganggap pembatasan kehamilan itu sangat penting demi kesehatan
mereka.
·
Perkembangan di Jakarta
Di Jakarta, kegiatan itu dimulai di bagian Kebidanan RSUP
yang dipimpin oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo. Sejak tahun 1953 di poliklinik
kebidanan
yang dipimpin oleh dr. M.Judono dan dibantu oleh dr. Koen S. Martiono,
telah dilaksanakan program yang disebut Post
Natal Care, yaitu pemeriksaan
pasien 6 minggu setelah melahirkan.
Perhatian Prof. Sarwono Prawirohadjo dalam masalah
pengaturan kelahiran (Birth Control) begitu besar, hingga mengirim dr. Juwono
ke
luar negeri untuk memperdalam pengetahuannya tentang pembatasan kelahiran.
Dr. Suharto yang ketika itu mempunyai klinik bersalin juga
telah mulai memberikan penyuluhan dan pelayanan kepada pasiennya dalam
menjarangkan
kehamilan. Beliau telah beberapa kali menerbitkan brosur tentang
kesehatan yang diberikan dengan gratis kepada pasiennya. Selain itu juga
diterbitkan sebuah brosur tentang pengaturan kehamilan. Tentu saja brosur ini
hanya terbatas distribusinya yaitu di kalangan pasien Dr. Suharto sendiri.
Pada tahun 1956 di BKIA jalan Tarakan, Jakarta, kegiatan
pemeriksaan setelah melahirkan dilakukan oleh dr. Koes S. Martinon. Beberapa
rumah bersalin
mulai mengirimkan pasiennya ke BKIA untuk mendapatkan pemeriksaan.
Mereka yang dikirm ke sana biasanya sudah tergolong dalam kelompok
berisiko
besar untuk melahirkan. Ketika itu sedikit sekali yang datang atas kemauan sendiri
untuk mendapatkan pelayanan dalam pembatasan kehamilan.
Dr. Hurustiati Subandrio (seorang dokter dan antropolog),
selama ada di London dari tahun 1948 hingga 1953 juga sudah menaruh perhatian
kepada
program Keluarga Berencana. Ini telah mendorong untuk mengadakan
hubungan dengan IPPF (International Planned Paranthood Federation) darimana
ia
mendapatkan keterangan yang lebih jelas lagi tentang keluarga berencana, tidak
hanya dari segi medis saja tetapi justru dari segi sosial.
dr. Hanifa Wiknjosastro yang pada tahun 1953 mengikuti
kuliah post graduate dalam kebidanan di London, setelah membaca buku “Birth
Control Today”
karangan Marie Stopes, menjadi sangat tertarik oleh program Keluarga
Berencana.
Di London, alat kontrasepsi merupakan barang biasa yang
dijual di toko-toko dengan bebas. Di Indonesia, hal semacam itu tidak dapat
dilaksanakan.
Membicarakan keluarga berencana secara terang-terangan saja tidak
mungkin karena masyarakat masih belum dapat menerimanya. Apalagi
dengan adanya
pasal 534 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar
untuk mencegah hamil, atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan
tidak diminta
bahwa ikhtiar atau pertolongan itu bisa didapat, dapat dihukum dengan kurungan
selama-lamanya 2 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya dua ratus rupiah”.
Itulah sebabnya mengapa dr. Hanifa sepulangnya dari London
belum dapat menyebarluaskan pengertian pembatasan kelahiran itu. Pada permulaan
ia hanya dapat membicarakannya dengan rekan-rekannya saja, terutama ahli-ahli kebidanan
dan penyakit kandungan, karena bagaimana pun juga
dokter-dokter inilah yang
nantinya akan memberikan pelayanan dan memegang peranan penting dalam usaha
penyebar-luasan gagasan pengaturan
kehamilan tersebut. Kepada dokter-dokter
itulah dr. Hanifa mulai memberikan ceramah-ceramah dan mendiskusikan masalah
pengaturan kehamilan.
Dokter Hanifa juga memberikan pelayanan pembatasan
kelahiran di poliklinik Kebidanan RSUP, walaupun secara diam-diam. Cara yang
digunakan
oleh dr. Hanifa ialah cara yang ketika itu popular, yaitu dengan
menggunakan Menzinga Passarium atau Dutch Cap.
Pada waktu itu Dr. Hurustiati beberapa bulan bekerja di
poliklinik RSUP yang disusun oleh dr. Hanifa. Perlu dicatat bahwa pada tahun
1956
Dr. Hurustiati bersama dengan beberapa tokoh wanila lain, mendirikan
sebuah klinik keluarga berencana di Gedung Wanita, Jakarta. Kegiatan klinik
itu,
seperti juga klinik-klinik lainnya pada masa itu yang memberikan pelayanan
keluarga berencana, adalah sangat terbatas dan berjalan dengan diam-diam.
·
Periode
Persiapan dan Pelaksanaan
1. LKBN (Lembaga
Keluarga Berencana Nasional)
Setelah berdirinya PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia) pada tahun 1957, telah melaksanakan usahanya dengan berbagai kendala,
baik dalam menyebar luaskan gagasannya kepada masyarakat maupun dalam
menghadapi reaksi Pemerintah, maka pada Kongres Nasional I
PKBI mengeluarkan
pernyataan yang disampaikan kepada Pemerintah. Isi pernyataan ituadalah sebagai
berikut :
- PKBI menyatakan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah yang telah mengambil
kebijaksanaan mengenai Keluarga
Berencana yang akan dijadikan program pemerintah.
- PKBI mengharapkan
agar keluarga berencana sebagai program Pemerintah segera dilaksanakan.
- PKBI sanggup untuk
membantu pemerintah dalam melaksanakan program keluarga berencana sampai di
pelosok supaya faedahnya dapat dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pernyataan ini disampaikan tepat pada waktunya, di mana
suasana sudah lebih menguntungkan yaitu dengan adanya penandatanganan Declaration of
Human Right oleh beberapa
Kepala Negara termasuk Indonesia (Presiden Soeharto). Deklarasi tersebut antara
lain telah menerima resolusi yang
pada pokoknya mendukung gagasan bahwa, adalah
hak asasi manusia untuk menentukan jumlah anak yang dikehendaki, dan sebagai kelanjutannya
maka Presiden Soeharto menyatakan bahwa Pemerintah menyetujui program nasional
keluarga berencana yang diselenggarakan oleh masyarakat
dengan bantuan dan
bimbingan Pemerintah.
Sehubungan dengan itu pada tanggal 7 September 1968,
keluarlah Instruksi Presiden No.26 Tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan
Rakyat
(Menkesra) yang isinya antara lain :
1. Untuk membimbing,
mengkoordinir serta mengawasi segala aspek yang ada di masyarakat di bidang
keluarga berencana;
2. Mengusahakan
negara terbentuknya suatu Badan yang dapat menghimpun segala kegiatan keluarga
berencana serta terdiri atas unsur-unsur
Pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan instruksi Presiden tersebut keluarlah Surat
Keputusan Menkesra No.36/Kpts/Kesra/X/1968 tentang pembentukan team yang akan
mengadakan persiapan pembentukan sebuah lembaga keluarga berencana. Dan pada
tanggal 17 Oktober 1968 dikeluarkanlah Surat Keputusan
Men kesra tentang
pembentukan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan tugas pokok :
- Menjalankan
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi usaha-usaha keluarga
berencana.
- Memberikan
saran-saran yang diperlukan kepada pemerintah mengenai keluarga berencana
sebagai program nasional.
- Mengadakan /membina
kerjasama antaraIndonesia dan luar negeri dalam bidang KB, selaras dengan
kepentingan nasional.
·
Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta
Sebagai salah satu usaha yang juga mempercecpat keluarga
berencana dijadikan program nasional adalah proyek keluarga berencana DKI Jakarta.
Pada waktu itu setelah simposium kontrasepsi di Bandung pada
tahun 1967 Gubernur Ali Sadikin menganggap sudah tiba waktunya untuk segera
mulai kegiatan keluarga berencana secara resmi di DKI Jakarta. Maka pada
tanggal 21 April 1967 tepat pada peringatan Hari Kartini di Balai Kota
dilantiklah
orang-orang yang akan menyelenggarakan Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta
yang dipimpin oleh dr. Herman Susilo dan dr. Koen
Martiono sebagai pelaksana
proyek.
Pada akhir tahun 1967 diperoleh bantuan dari Ford Foundation melalui PKBI. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan adalahkegiatan penerangan dan
motivasi yang dimulai di bawah
pimpinan Prof. M. Djoewari (alm). Kemudian pada tahun 1968 dilanjutkan dengan
penerangan dan motivasi yang
dilakukan oleh PLKB yang mulai melaksanakan
tugasnya di wilayah DKI. Dan juga diadakan penelitian selama tahun 1968 dan
1969 mengenai
karakteristik akseptor, kelangsungan menjadi akseptor pil dan
pemakaian IUD dengan bantuan biaya dari PKBI.
Setelah berdirinya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana
Nasional) barulah Proyek Keluarga Berencana DKI Jakarta mendapat subsidi Pemerintah.
Pada tahun 1980 Pemerintah menganggap keluarga berencana perlu dilaksanakan sendiri
oleh Pemerintah sebagai bagianintegral pembangunan
nasional. Maka lahirlah
Keppres No.8 tahun 1970 yang menetapkan bahwa BKKBN merupakan lembaga
pemerintah dengan penanggung jawab umum
di tangan Presiden.
Disunting dari: Badan koordinasi keluarga
berencana nasional; sejarah perkembangan keluarga
berencana dan program
kependudukan; Jakarta; 1981;-